Siapa yang
nggak suka menghabiskan waktu senggang bersama keluarga atau teman-teman? Oh
ya, sama kamu juga aku pengin banget, tapi belum kesempetan lagi huf. Gua
selalu menanti-nanti momen itu, apalagi saat lagi ribet-ribetnya sama rutinitas
sehari-hari (sumpah padahal mah ngampus sama magang doang hehe, gak sibuk anjir).
Semenjak kuliah
dan magang, gua bener-bener ngerasain yang namanya the power of weekend! Sabtu
dan Ahad (Ibu gua bilang, sebaiknya Ahad, dia baca dari pesan berantai di WhatsApp. Jangan mau
dibodohi, katanya gitu. Yauda daripada nama gua dihapus dari Kartu Keluarga,
ribet entar).
Dua hari ini
jadi hari yang paling gua idam-idamkan. Bukan, bukannya mau main atau liburan.
Mau tidur bangun Dhuhr gua, sumpah. Tapi iya, gada duit juga sih, emang. Kamu, gak
ajak-ajak aku nonton sm KFC-an sih :( Balik lagi. Tahun ini gua memasuki usia
21, yang menurut para pakar Psikologi, masa-masa ini merupakan akhir dari fase
remaja.
Awal-awal gua
menyadari ini, kaget sih, sampe latah-latah kayak Mpok Ati gitude. Gua pun
mulai memikirikan beberapa hal yang belum terlintas di pikiran gua: pekerjaan,
pasangan, dan masa depan (oke, jangan muntah). Jika menurut pembaca yang
baik dan budiman it's too late, mohoh
dimaafkan hamba yang penuh dosa ini :( Tapi begitulah yang gua alamin.
Biasanya, saat weekdend itulah gua mulai membahasnya
secara terbuka. Kalau lagi bahas soal masa depan, bareng keluarga, paling
berkesan itu pas sama Ibu atau Kakak gua.
"Nanti uang gaji mau buat
kasih orang tua (basa-basi lah, depan orangtua kan), sisanya buat nabung beli
rumah. Jadi abis nikah bisa langsung pindah," bicara gua sotoy kayak
orang mabok narkoba gorila.
Kemudian Ibu gua
menyambar dengan pernyataan yang bisa dibilang sebagai sanggahan. Seperti kebanyakan
orangtua, khususnya yang punya anak perempuan, menurutnya, hal itu bukan jadi
persoalan yang seorang perempuan harus pikirin (if you know what I mean). Sampe sekarang gua masih mikir, letak
salah dari pernyataan gua tadi di mana.
Gua emang
berencana mau punya rumah sebelum berkeluarga (GOKS, UANG PARKIR AJA MASIH
MINTA SAMA ORANGTUA!). Tapi menurut gua, setiap orang berhak punya rencana,
masalah terwujud atau enggak itu urusan Yang Maha Esa. Gua cuma berangan-angan
supaya paling minimal, setelah gua berkeluarga nantil (aamiin), kehidupan
keluarga baru gua nggak jadi beban buat siapa pun (anjish). Bukankah sebuah
tujuan yang mulia? Eaa udah masuk kategori calon isri dan menantu idaman belum,
gua? Iya, tepat sekali, belum memang, makasih.
Pemikiran ini tentunya
bukan tanpa alasan. Belajar dari pengalaman Kakak gua yang udah menikah sejak
kurang lebih lima tahun lalu. Setelah nikah, dia dan suaminya emang belum punya
hunian tetap. Mereka menyewa sebuah rumah untuk jangka waktu dua tahun.
Tapi setelah
itu, mereka memutuskan untuk tinggal di Asrama Polantas di daerah Condet. Paling
nggak, ini bisa menghemat biaya hidup daripada harus nyewa rumah terus-terusan.
Sekarang, mereka lagi gencar-gencarnya cari hunian tetap. Dan gua baru sadar,
sekarang harga tanah mahal beth.. Astaghfirullah haha.
Saat ini, susah
betul cari tanah atau rumah yang sesuai harapan dan kantong lol. Rumah adalah
tempat tinggal bagi keluarga untuk jangka panjang. Ada banyak banget aspek yang
perlu dipertimbangin, kalau nggak percaya, googling deh. Mengetahui hal ini,
tercetuslah keinginan itu.
Kalau hari ini
harga satu meter tanah Rp2000, misalnya, tiga atau empat tahun yang akan
datang, kemungkinan harga ini bisa membelah diri menjadi beberapa kali lipat. Sebenernya
ini bukan murni gua yang mencetuskan sih, tapi Ibu dan Bapak gua berkali-kali
mendengungkan pernyataan itu. Terlalu sering gua denger, sampe munculah hasrat
itu.
Apakah kalau gua
punya pemikiran yang sama dengan mereka itu salah? Selain bahas tempat tinggal
masa depan, akhir-akhir ini, gua juga sering ngbahas soal anak bareng Ibu dan
Kakak gua. ini karena Kakak gua baru aja ngelahirin putri ke-2nya tiga bulan
lalu. Di usianya yang Februari, ini insya Allah menginjak 29, Kakak gua udah
udah punya dua orang putri.
Dia nikah di
usia24 tahun. Iya, sekarang gua udah 21 tahun, nggak apa-apa, kali aja pembaca
lupa. Kakak gua adalah anak perempuan pertama dari dua adik perempuannya. Kebayang
nggak, lahir sebagai anak perempuan, memiliki dua adik perempuan, dan sekarang
dia punya dua anak perempuan. Nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kamu dustakan?
Lucu aja, kalau
lagi ngumpul dua keluarga, berisiknya udah kayak asrama putri. Nyeletuklah gua
dalam suatu hari.
“Yang bener itu kira-kira yang mana, kromosom X dari keluarga kita yang
domina atau gimana?” tanya gua ke Ibu gua.
Sebelum Ibu gua
menjawab, gua langsung melanjutkan, “Berarti nanti, kalu gak cari suami yang
kromosom Y-nya dominan, atau pakai ritual-ritual gitu deh biar anaknya
laki-laki.”
Ibu gua pun
menanggapi santai sambil makan pepaya, buah kesukaannya, “Pacar aja dulu,
ngapain ngomongin anak.”
Selesai