Pages

Ads 468x60px

Pengunjung

Kamis, 27 Oktober 2016

Diam yang Mematikan

Tak ada yang berbeda dengan  hari itu. Hanya saja alam sedang menampakkan wujudnya. Terlihat dari jendela kelas di lantai 7, terik matahari seakan hilang kekuatan menembus gelapnya langit yang tebal. Selain angin kencang, terdengar pula suara gemuruh dari langit yang saling bersahutan. Belum lagi kilat yang diiringi suara petir seolah menakut-nakuti kehidupan yang ada di bawahnya. Namun, Galuh, ia lagi-lagi tampak tak seirama dengan orang-orang di sekitarnya. Ketika teman seisi kelasnya, termasuk sahabat-sahabatnya menggerutu, menyesali cuaca siang itu, Galuh justru menanti kedatangan tamu yang tak banyak diharapkan kedatangannya itu. 

“Kenapa selalu kayak gini, giliran nggak bawa payung, hujan malah mengancam!” keluh Runi.

“Iya, Motor juga baru banget dicuci lagi, aduh,” saut Bimo, sambil memandangi jendela kelas yang tidak ditutupi gorden.

“Kenapa sih, kalian? Kalau turun hujan ya tinggal ditunggu sampai berhenti,” kata Galuh, sambil melemparkan senyum tipis ke dua sahabatnya itu.

Ini hujan, Gal, hujan, bukan hiburan,” Runi geram. 

Obrolan di antara ketiganya terhenti seketika oleh petir dan air hujan yang tak tertahankan. Suara mengagetkan itu tidak hanya menghentikan perbincangan antara Galuh, Runi, dan Bimo, tetapi juga seisi kelas. Semuanya sibuk membunuh waktu dengan diri masing-masing. Kecuali Galuh, semua teman-teman sekelasnya, termasuk Runi dan Bimo antusias memainkan ponsel milik masing-masing. Lain halnya dengan Galuh. Ia justru mematikan ponsel dengan mengaktifkan mode pesawat dan terlihat sibuk dengan buku catatannya. 

Bukan, Galuh bukan sedang mengulas materi kuliahnya, melainkan ia sedang menulis di halaman paling belakang buku catatannya. Galuh memang gemar dengan kegiatannya itu, tidak hanya untuk mengisi kebosanan, tetapi juga setiap saat berhadapan dengan kertas dan pena atau pensil. Hujan belum berhenti, Galuh juga masih menulis. Beginilah potongan tulisan, yang Galuh tuangkan ke halaman paling belakang buku catatannya saat itu:

Kita memang tak ditadirkan untuk menjadi menyenangkan 
Apalagi di hadapan setiap umat Tuhan 
Aku pernah marah pada diri sendiri 
Ah, aku meragu, mungkin sampai saat ini 
 Kuakui semua salahku
Mengajak kamu bermain-main dengan sang waktu  

Bukan penggalan tuliasan yang baik memang. Kekagumannya pada dunia seni dan sastra, tak lantas membuatnya mahir di bidang tersebut. Tulisannya pun banyak yang tak cukup menarik bahkan sulit dipahami. Dibuktikan dengan tanggapan Runi yang selalu saja memprotes, lantaran gagal memahami makna setiap tulisan Galuh. Namun dialah Galuh. Laki-laki 23 tahun yang akan tetap melakukan segala hal yang disukainya, tidak peduli mampu atau tidak. 

Waktu menunjukkan pukul 16.40, perlahan hujan berhenti mengguyur kampus 12 lantai itu. Tidak ada lagi jadwal mata kuliah, sebagian besar isi kampus bergegas meninggalkan kampus, tak terkecuali mereka bertiga. Seperti biasa, Bimo pulang dengan membonceng Runi sampai di perempatan jalan besar. Semenatara Galuh, ia selalu setia dengan kesendiriannya. 

“Hari ini siapa yang mau numpang?” tanya Bimo di jalan menuju pintu utama kampus. 

Nggak usah ditanya, ini sih kesempatan Galuh bercengkrama sama awan mendung. Iya kan, Gal?” gurau Runi. Galuh menyunggingkan sudut bibir kanannya dan melirik sinis ke arah Runi, seolah membenarkan ucapan Runi. 
 
“Serius nih, nggak apa-apa, Gal?” tanya Bimo sambil sibuk mencari-cari tiket parkir dan uang untuk parkir.

“Iya, nggak apa-apa. Lagian kalau turun hujan lagi, di tas ada payung kok. Kasian juga si Runi, nggak ada payung, yang ada kantong plastik buat muntah,” goda Galuh dengan  muka serius.

“Yaudah tarik gasnya Bim, udah kelamaan kita basa-basinya!” balas Runi sambil menepuk-nepuk pundak Bimo.

“Hehehe,” Bimo tertawa, “bener juga sih, Gal. Yaudah kita duluan ya. Hati-hati Gal!”
“Siap, kalian juga ya!”

Ya, Selain hujan, Galuh juga pecinta kesendirian. Untuk ukuran laki-laki seusianya, Galuh memang berbeda. Secara fisik, Galuh termasuk mahasiswa laki-laki beparas tampan. Tinggi badannya sekitar 175 cm, rambutnya hitam legam dengan jenis potongan rapi yang dibelah ke kanan, tulang hidungnya cukup menonjol, warna kulitnya cenderung kuning langsat, dan parfum yang disemprotkan ke tubuhnya menyemaikan aroma tubuh yang selalu membuat nyaman siapa pun saat berada di dekatnya. Namun, secara emosional, Galuh selalu bertabrakkan dengan hampir semua orang di sekitarnya. Termasuk dua sahabatnya di kampus. Galuh pun berjalan sendirian menuju jalan besar. 

“Tin tin tin!” Suara klakson sepeda motor memberhentikan langkah Galuh.

“Gal, bareng ayo!” rupanya itu Ari, teman Galuh dari jurusan lain.

“Oh, nggak usah, Ri, duluan aja nggak apa-apa kok.”

“Kita satu arah kan? Ayolah Gal,” paksa Ari. 

“Lain kali boleh deh, sekarang lagi pengin olahraga nih.” 

“Yaudah, janji ya besok-besok nggak nolak?”

“Iya, janji,” kali ini Galuh terkekeh, “makasih, bro, hati-hati!”

Galuh selalu begitu, ia bukannya tak mau menerima kebaikan teman-temannya, melainkan benar  yang dikatan Runi tadi, Galuh akan menikmati sore dengan kesendiriannya. Dalam perjalanannya, ia ditemani iringan lagu sendu dengan volume full lewat headset yang ditempelkan di kedua telinganya. Galuh merasa tenang karena ia tak harus mendengar suara-suara yang dapat merusak “kekhusyukan ritualnya”. Ia membenci kebisingan dari suara riuh kendaraan di jalan. 

Kini, Galuh bisa fokus dengan lagu yang ia dengarkan dan kehidupan yang tinggal di dalam pikirannya. Sesekali ia tersenyum, menghayati kata demi kata dari lirik lagu kesayangannya. Ia juga menyesuaikan langkah kakinya sambil melantunkan lirik lagu dengan suara pelan.

“Trying to make a move just to stay in the game, I just stay awake and remember my name but, everybody’s changing and I don’t feel the same.” 

Sebenarnya, ketika itu, ada hasrat dalam diri Galuh yang sudah sangat mendidih, senyum tipis tadi seketika berubah menjadi bibir yang mengerut, begitupun pada dahinya. Rupanya Galuh lelah karena tak mampu berbuat apa-apa sejak saat itu. Ia menolak menerima apa yang benar-benar ia impikan, dan berpikir dirinya sudah setengah gila. Galuh juga merasa, mungkin akan lebih baik jika ia mati sekarang daripada hidup dengan tak mampu menjadi yang terbaik.

Dia sadar, dirinya penuh dengan kenaifan. Terlalu banyak hal baik yang Galuh sengaja lewatkan karena rasa bersalahnya pada banyak orang, termasuk dirinya. Namun ia kembali sadar, dirinya hanya manusia biasa yang tak mungkin bisa lepas dari kebaikan dan keburukan. Konsentrasinya kemudian terpecah dengan dering panggilan dari Runi. Kali ini Galuh lalai, ia lupa mengaktifkan mode pesawat di ponsel-nya. 

“Ya, ada apa Run?”

“Ini ada tiket Simple Plan free, seat-nya VIP lagi. Tapi cuma satu, mau nggak?”

“Becanda aja kali, masa nolak!” Galuh tak kuasa menahan senang sekaligus terkejut. Langkahnya kini tak terkendali, pandangannya juga tak lagi lurus ke depan, tetapi ke segala arah.

“Oke, tiketnya besok ya, di kampus.”

“Siap, makasih banyak, Run.. Aduh!” Galuh terjerembap di selokan tepat sebelum pertigaan jalan, beruntung ia masih sempat menyelamatkan ponse-lnya dengan genggaman kuat di tangan kanannya.

“Iya, nggak usah teriak! Eh suara apaan tuh, Gal?” 

“Nggak apa-apa Run. Cuma kepeleset ke selokan,” kekeh Galuh sambil berusaha mengeluarkan kaki kirinya.

“Serius, Gal? Bisa bangun nggak? Minta tolong orang sekitar aja,” Runi penasaran.

“Iya, bisa kok. Udah dulu ya Run, mau ngeluarin kaki nih. Sekali lagi makasih Run tiketnya. Bye, Run.”

Segera Galuh menyimpan ponsel beserta headset ke dalam tasnya, namun kaki kirinya belum juga bisa diangkat keluar dari selokan. Galuh mulai panik lantaran tak ada pengguna jalan lain yang bisa ia mintai pertolongan. Galuh memang sedang tidak lewat jalan yang ia biasa lalui. Pada sore itu, ia sengaja lewat jalan yang tersohor sepi pengguna, ini karena Galuh benar-benar ingin menyendiri. 

Namun, sekarang ia bak kebakaran jenggot, sejauh matanya memandang, ia tak melihat sesosok manusia pun. Baik pejalan kaki, maupun penggun sepeda motor atau mobil. Galuh terus menarik-narik kakinya sekuat tenaga, ia juga berusaha mengangkat batu coran besar yang terpantek dengan batu coran besar lainnya. Sesekali ia mengarahkan pandangan ke arah datangnya kendaraan, namun tak muncul juga.Hingga tak sampai lima detik Galuh memalingkan wajahnya ke kaki kirinya, sebuah truk besar datang dari arah berlawanan dengan kecepatan tinggi.

Truk itu juga tak sempat menekan klakson. Kira-kira ketika itu pukul 17.00, namun awan mendung sisa hujan, masih menutupi sebagian langit, hingga petang itu tak secerah petang biasanya. Belum lagi pohon-pohon besar yang doyong akibat terjangan angin kencang saat hujan. Kecelakaan itu pun tak terhindarkan. Pukul 19.10 Runi, Bimo, dan mungkin teman-teman satu kelas Galuh mendapat pesan singkat yang berisi permintaan maaf atas nama Galuh, serta salam perpisahan. 

Ya, Galuh telah mengahadap Yang Kuasa. Mungkin di “sana”, Galuh merasa bahagia, karena angan-angan terakhirnya pada sore itu terwujud. Namun Runi? Sejatinya, Runi adalah pengagum rahasia Galuh sejak lama. Tiket konser Simple Plan yang beberapa jam lalu ia janjikan kepada Galuh tidak datang tiba-tiba dari langit. 

Tiket itu bersal dari uang jajan Runi yang ia kumpulkan sejak satu tahun lalu. Tiket konser tersebut hanya satu dari sekian banyak “kebaikan” matereel maupun non matereel yang Runi berikan kepada Galuh. Namun, Runi mengerti, betapa kehadirannya takkan pernah bisa menggantikan sosok wanita yang diidam-idamkan Galuh. Bahkan sampai pada hari ajal menjemputnya, Runi memahami, tulisan terakhir yang Galuh tuangkan di buku catatannya tertuju untuk wanita itu. Namun Runi menapik kenyataan itu.

Kini, atas kejadian itu, Runi menyerahkan diri ke kantor polisi dengan pengakuan penyebab kematian Galuh. Bukannya masuk kantor polisi, Runi justru dikirim ke rumah sakit jiwa. Rupanya batin dalam diri Runi tak cukup kuat menanggung rasa bersalah yang berkecamuk dalam jiwanya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates