Pages

Ads 468x60px

Pengunjung

Kamis, 27 Oktober 2016

Beginilah Pandangan Mahasiswa PNJ Tentang Kampusnya

Tiga tahun sudah waktu bergulir.  Namun, kenangannya akan kampus tercinta yang telah memberi banyak pelajaran itu masih sangat jelas diingatannya. Dari mulai hangatnya persahabatan, hingga suasana seperti keluarga di rumah saat bersama para pengajar di kampus yang penuh kasih dan sayang.

Bagi Dea Karina Tirtajaya, mendapat kesempatan menuntut ilmu di Politeknik Negeri Jakarta Jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan, Program Studi Penerbitan, merupakan berkat tak ternilai dari Yang Mahapengasih. Untuk itu, ia pun mewujudkan rasa syukurnya dengan lulus tepat waktu tahun ini. Bahkan, kini, wanita 21 tahun itu telah menjadi karyawan tetap di perusahaan media Femina Group, tepat setelah masa Praktik Industrinya berakhir.

Dea, begitu panggilan akrabnya, memang telah berhasil dan sukses menjalani masa-masa sulitnya sebagai mahasiswa teladan. Namun, itu semua bukan tanpa perjuangan dan kesabaran yang lahir dari setiap doa dalam dadanya yang tulus. Bersama teman-teman seperjuangannya, wanita berkerudung itu tak hanya harus tahan banting menghadapi ujian-ujian besar, seperti sulitnya mendapatkan perusahaan untuk PI,  menuruti setiap kemauan dosen pembimbing, hingga mendapat revisi berulang kali pada setiap bimbingan, baik laporan PI maupun Tugas Akhir (TA). 

“Hal-hal kecil” yang Dea lalui bersama sahabat-sahabatnya tak lantas menumbangkan semangat juangnya sebagai mahasiswa tingkat akhir, sebaliknya, ia justru merasa terkesan. Pernah suatu ketika, Dea yang sedang menyusun TA berjudul “Penerapan Syarat dan Unsur Penulisan Naskah Untuk Produk Digital pada Website www.sahabatmarina.com”, kesulitan mencari buku rujukan atau referensi di kampusnya sendiri. Akhirnya, ia memutuskan untuk meminjam buku di perpustakaan kampus tetangga (Universitas Indonesia). Ya, letak PNJ memeng berada di tengah-tengan kampus UI, Depok.

Dea mengklaim, baik perpustakaan kampus maupun jurusan, tidak banyak menyediakan buku yang mampu menunjang mata kuliahnya di kampus. Bukan hanya tidak banyak, namun juga sangat sulit ditemukan. Kendatipun ditemukan, boleh jadi konten atau tahun terbit buku tersebut tidak lagi relevan. 

Jauh sebelum itu, gadis pemilik mata besar, hidung mancung, dan bibir merah itu sudah sering menelan bulat-bulat kekecewaan atas fasilitas yang disediakan kampus, khususnya di jurusan. Pada pertengahan semester 2, Dea dan teman-temannya sering telantar alias tak mendapat jatah ruang kelas akibat jadwal mata kuliah yang tak terkoordinasi dengan tepat. 

Kondisi itu diperparah dengan minimnya penyediaan proyektor. Pasalnya, kehadiran proyektor dinilai sangat membantu proses belajar mengajar di kampus. Utuk itu, keterbatasan jumlah proyektor berpotensi mengurangi keefektifitasan kegiatan perkuliahan.

“Ketua kelas tolong ambilkan proyrektor, ya,” kata seorang Bapak dosen saat mata kuliah ke dua yang dimulai pukul 11.00 itu. Ketua kelas pun bergegas menuju ruang sekret, tempat penyediaan proyektor di lantai dua. Beberapa menit kemudiam ketua kelas kembali ke kelas.

“Maaf, Pak, proyektornya sudah habis dipinjam kelas lain.” Kalimat itu tiba-tiba saja membungkam suasana kelas yang tadinya cukup riuh oleh perbincangan antarmahasiswa.

“Wah, gimana nih? Coba kamu cari ke kelas lain, mungkin ada yang sudah selesai menggunakannya,” saran  Bapak dosen yang mulai gelisah. Ketua kelas yang belum bisa mengatur napasnya itu keluar lagi dari kelas, mencari proyektor ke kelas-kelas lain. Namun sudah diusahakan, proyektor tak juga  didapatkan. 

“Kalau kayak gini, gimana saya bisa nyampein materi?” keluh Bapak dosen sambil terkekeh, entah apa maksudnya. 

Dengan berat hati, materi pun disampaikan Bapak dosen dengan menuliskannya ulang di papan tulis menggunakan spidol  hitam.  Beruntung, ketidaknyamanan itu tak berlangsung lama. Dea kemudian diberikan jadwal yang terkoordinasi dengan baik sehingga ia dan teman-teman sekelasnya tak perlu kesusahan mencari kelas kosong. Proyektor pun kini sudah disediakan di tiap-tiap kelas, meski tidak dimungkiri banyak yang tak bisa digunakan bahkan dicabut dari beberapa kelas dan disimpan oleh pihak kampus.
            
Setelah perpustakaan, ruang kelas, dan proyektor, selajutnya ada “kasus” bus kuning UI. Kasus yang juga kini tengah ramai diperbincangkan, baik oleh kalangan mahasiswa UI mapun PNJ ini, ternyata telah terlebih dahulu dialami Dea ketika ia baru menginjak semester tiga. Malam itu, sekitar pukul 19.00, Dea bersama Kiki, Widy, Mei, dan Tami baru pulang mencetak tugas kuliah di daerah Margonda. 

Sehubungan dengan kamar indekos mereka yang terletak di belakang PNJ, mereka pun memutuskan untuk menumpangi bus kuning milik UI atau yang sering disebut dengan bikun. Tak seperti biasanya, malam itu mereka berlima dibuat tercengang oleh ulah sang oupir bikun.

“Yuk, siap-siap turun!” seru Tami. Kelimanya pun berdiri, bersiap-siap turun dari bikun di Halte PNJ.

“Loh loh loh, ini kok bikunnya nggak berhenti? Dea kebingungan, "wah, parah!” Kedua bola matanya membelalak ke arah kursi sopir bikun yang terus menginjak pedal gasnya. Akhirnya, mereka turun di Halte Vokasi UI dengan muka masam. Tidak seperti biasanya, tak ada hasrat dalam diri mereka mengucapkan terima kasih kepada sang supir ketika melangkah turun dari bikun.

“Lumayan jauh nih, dari Vokasi ke PNJ,” keluh Mei sambil menunduk memperhatikan jalan yang minim sekali pencahayaan.

“Iya, ini kan udah malam juga. Takut gelap,” timpal Widy.

“Gimana sih sopirnya, mentang-mentang sopir bikun, masa nggak mau berhenti di Halte PNJ!” Dea geram.

“Hati-hati jalannya, minggir semua, ya,” ujar Widy yang mulai menenangkan.

“Pegang juga tas kalian masing-masing yang erat ya, waspada!” perintah Dea.

Beberapa waktu setelah malam itu, kejadian hampir serupa terjadi. Namun, yang membedakan ialah  posisi Dea berada di halte PNJ menunggu bikun untuk  membawanya ke Halte Pondok Cina (Pocin). Setelah menunggu beberapa lama, bikun akhirnya tiba, tetapi tampaknya sopir bikun tidak menginjak pedal rem bus, bikun terus berjalan dan berlalu. Dea dan teman-temannya, serta mahasiswa PNJ yang lain seketika dibuat kecewa.
 
Beredar kabar, para sopir bikun ngambek dengan para sopir bus politeknik atau bipol yang jarang beroperasi dalam satu hari. Namun, tidak dapat dipastikan apakah informasi demikian benar adanya atau tidak. Hingga saat ini, belum ada konfirmasi baik dari pihak bikun maupun bipol terkait hal itu. 

Namun demikian, Dea punya caranya sendiri untuk bisa tetap terkesan pada kampusnya itu, misalnya, ia selalu bersyukur atas apa yang telah digariskan Tuhan untuk dirinya, tidak peduli hal baik ataupun buruk. Ia yakin selalu ada hikmah tersembunyi di balik setiap ujian yang ia lalui. Ketika harus meminjam buku di perpustakaan UI, ia artikan itu sebagai jalan Tuhan membawanya kepada ilmu yang jauh lebih baik dan mumpuni. 

Kemudian, pembagian kelas yang tidak merata, menggiringnya menjadi mahasiswa yang lebih menghargai setiap jam mata kuliah yang ia dan teman-temannya perjuangkan. Namun, perkara proyektor, menurutnya, hingga saat ini pihak kampus masih belum serius menanggapi. Dea berharap, secepatnya ia bisa mendengar kabar menggembirakan dari adik-adik juniornya terkait penyediaan proyektor di tiap-tiap kelas, sebab itu merupakan salah satu hak seluruh mahasiswa yang harus terpenuhi.

Tidak lupa Dea menambahkan, ada satu hal yang selalu membuatnya bangga menjadi mahasiswa PNJ, yakni mendapat kesempatan sebagai anak didik dari para pengajar yang berkompeten di bidangnya. Ia tidak menutup kemungkinan, keberhasilan yang bisa ia raih sampai hari ini, tak lepas dari dukungan dan motivasi para pengajarnya di kampus.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates