Pages

Ads 468x60px

Pengunjung

Sabtu, 29 Oktober 2016

Mitos, Fakta, dan Cacar Air


Ada banyak mitos yang beredar di kalangan masyarakat terkait penyakit cacar air. Meski tak disertai alasan yang bersifat ilmiah, banyak yang mepercayai keberadaan mitos-mitos tersebut. Beruntung kekeliruan itu telah diluruskan melalui pemaparan dalam artikel-artikel ilmiah yang membahas seputar penyakit menular ini.

Mitos pertama, yang paling populer, yaitu pengidap cacar air dilarang mandi. Penyebab utama penyakit ini adalah virus varizella zoster yang menyerang sistem kekebalan tubuh seseorang. Virus tersebut berkembang menjadi bintil-bintil merah berisi air pada permukaan kulit. Untuk membunuh kuman-kuman tersebut, tentunya aktivitas mandi menggunakan sabun antiseptik merupakan cara yang paling mutakhir dan tidak boleh ditinggalkan. 

Mitos ke dua yang tak kalah terkenal ialah penderita cacar air akan selalu menularkan virus kepada hampir setiap orang yang ada di dekatnya lewat perantara udara. Seperti yang telah dijelaskan pada alinea sebelumnya bahwa cacar air disebabkan oleh virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Maka, virus itu hanya akan tumbuh dan berkembang pada tubuh seseorang yang sistem kekebalan tubuhnya buruk. Dengan demikian, penting bagi kita untuk selalu fit agar terhindar dari berbagai wabah penyakit, termasuk virus varizella zoster.  

Selanjutnya mitos ke tiga, jika bintil merah hanya tersebar di sebagian kulit tubuh, dipastikan si penderita akan kembali terserang cacar air, untuk mengeluarkan sisa bintil merah yang tertinggal di bawah permukaan kulit. Pengertian sebenarnya ialah ketika bintil merah tak tersebar secara merata, artinya si penderita telah melakukan penanganan terhadap virus dengan tepat. Akibatnya, proses penyebaran virus telah terhenti. 

Mitos terakhir, mitos yang cukup fenomenal dan banyak diperdebatkan berbagai kalangan, yaitu cacar air hanya terjadi satu kali sepanjang hidup. Melalui serangan virus cacar air, virus tersebut juga membentuk antivirus terhadap virus itu sendiri. Seolah diimunisasi, jika tubuh kembali diserang virus cacar air, secara otomatis virus akan dirusak oleh antivirus yang sudah aktif. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan seseorang akan menderita cacar air lebih dari sekali.

Penanganan yang Tepat

Ada berbagai cara menangani cacar air, baik dari luar maupun dalam tubuh. Letaknya yang berada di bagian terluar tubuh, membuat sebagian besar penderita cacar air hanya fokus pada cara penyembuhan dari luar. Biasanya, salep dan bedak antigatal menjadi senjata andalan untuk menghilangkan dan mengurangi bintil-bintil merah. Adapula yang memotong kuku tangannya agar tidak menimbulkan luka ketika menggaruk. 

Sementara dari dalam, ada cara yang terbukti ampuh, dengan sangat cepat memulihkan kondisi penderita cacar air, yakni dengan mengonsumsi obat yang mengandung acyclovir. Obat ini sangat dianjurkan karena salah satu manfaatnya, yaitu mengobati dan mencegah infeksi virus varizella zoster. 

Kamis, 27 Oktober 2016

Beginilah Pandangan Mahasiswa PNJ Tentang Kampusnya

Tiga tahun sudah waktu bergulir.  Namun, kenangannya akan kampus tercinta yang telah memberi banyak pelajaran itu masih sangat jelas diingatannya. Dari mulai hangatnya persahabatan, hingga suasana seperti keluarga di rumah saat bersama para pengajar di kampus yang penuh kasih dan sayang.

Bagi Dea Karina Tirtajaya, mendapat kesempatan menuntut ilmu di Politeknik Negeri Jakarta Jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan, Program Studi Penerbitan, merupakan berkat tak ternilai dari Yang Mahapengasih. Untuk itu, ia pun mewujudkan rasa syukurnya dengan lulus tepat waktu tahun ini. Bahkan, kini, wanita 21 tahun itu telah menjadi karyawan tetap di perusahaan media Femina Group, tepat setelah masa Praktik Industrinya berakhir.

Dea, begitu panggilan akrabnya, memang telah berhasil dan sukses menjalani masa-masa sulitnya sebagai mahasiswa teladan. Namun, itu semua bukan tanpa perjuangan dan kesabaran yang lahir dari setiap doa dalam dadanya yang tulus. Bersama teman-teman seperjuangannya, wanita berkerudung itu tak hanya harus tahan banting menghadapi ujian-ujian besar, seperti sulitnya mendapatkan perusahaan untuk PI,  menuruti setiap kemauan dosen pembimbing, hingga mendapat revisi berulang kali pada setiap bimbingan, baik laporan PI maupun Tugas Akhir (TA). 

“Hal-hal kecil” yang Dea lalui bersama sahabat-sahabatnya tak lantas menumbangkan semangat juangnya sebagai mahasiswa tingkat akhir, sebaliknya, ia justru merasa terkesan. Pernah suatu ketika, Dea yang sedang menyusun TA berjudul “Penerapan Syarat dan Unsur Penulisan Naskah Untuk Produk Digital pada Website www.sahabatmarina.com”, kesulitan mencari buku rujukan atau referensi di kampusnya sendiri. Akhirnya, ia memutuskan untuk meminjam buku di perpustakaan kampus tetangga (Universitas Indonesia). Ya, letak PNJ memeng berada di tengah-tengan kampus UI, Depok.

Dea mengklaim, baik perpustakaan kampus maupun jurusan, tidak banyak menyediakan buku yang mampu menunjang mata kuliahnya di kampus. Bukan hanya tidak banyak, namun juga sangat sulit ditemukan. Kendatipun ditemukan, boleh jadi konten atau tahun terbit buku tersebut tidak lagi relevan. 

Jauh sebelum itu, gadis pemilik mata besar, hidung mancung, dan bibir merah itu sudah sering menelan bulat-bulat kekecewaan atas fasilitas yang disediakan kampus, khususnya di jurusan. Pada pertengahan semester 2, Dea dan teman-temannya sering telantar alias tak mendapat jatah ruang kelas akibat jadwal mata kuliah yang tak terkoordinasi dengan tepat. 

Kondisi itu diperparah dengan minimnya penyediaan proyektor. Pasalnya, kehadiran proyektor dinilai sangat membantu proses belajar mengajar di kampus. Utuk itu, keterbatasan jumlah proyektor berpotensi mengurangi keefektifitasan kegiatan perkuliahan.

“Ketua kelas tolong ambilkan proyrektor, ya,” kata seorang Bapak dosen saat mata kuliah ke dua yang dimulai pukul 11.00 itu. Ketua kelas pun bergegas menuju ruang sekret, tempat penyediaan proyektor di lantai dua. Beberapa menit kemudiam ketua kelas kembali ke kelas.

“Maaf, Pak, proyektornya sudah habis dipinjam kelas lain.” Kalimat itu tiba-tiba saja membungkam suasana kelas yang tadinya cukup riuh oleh perbincangan antarmahasiswa.

“Wah, gimana nih? Coba kamu cari ke kelas lain, mungkin ada yang sudah selesai menggunakannya,” saran  Bapak dosen yang mulai gelisah. Ketua kelas yang belum bisa mengatur napasnya itu keluar lagi dari kelas, mencari proyektor ke kelas-kelas lain. Namun sudah diusahakan, proyektor tak juga  didapatkan. 

“Kalau kayak gini, gimana saya bisa nyampein materi?” keluh Bapak dosen sambil terkekeh, entah apa maksudnya. 

Dengan berat hati, materi pun disampaikan Bapak dosen dengan menuliskannya ulang di papan tulis menggunakan spidol  hitam.  Beruntung, ketidaknyamanan itu tak berlangsung lama. Dea kemudian diberikan jadwal yang terkoordinasi dengan baik sehingga ia dan teman-teman sekelasnya tak perlu kesusahan mencari kelas kosong. Proyektor pun kini sudah disediakan di tiap-tiap kelas, meski tidak dimungkiri banyak yang tak bisa digunakan bahkan dicabut dari beberapa kelas dan disimpan oleh pihak kampus.
            
Setelah perpustakaan, ruang kelas, dan proyektor, selajutnya ada “kasus” bus kuning UI. Kasus yang juga kini tengah ramai diperbincangkan, baik oleh kalangan mahasiswa UI mapun PNJ ini, ternyata telah terlebih dahulu dialami Dea ketika ia baru menginjak semester tiga. Malam itu, sekitar pukul 19.00, Dea bersama Kiki, Widy, Mei, dan Tami baru pulang mencetak tugas kuliah di daerah Margonda. 

Sehubungan dengan kamar indekos mereka yang terletak di belakang PNJ, mereka pun memutuskan untuk menumpangi bus kuning milik UI atau yang sering disebut dengan bikun. Tak seperti biasanya, malam itu mereka berlima dibuat tercengang oleh ulah sang oupir bikun.

“Yuk, siap-siap turun!” seru Tami. Kelimanya pun berdiri, bersiap-siap turun dari bikun di Halte PNJ.

“Loh loh loh, ini kok bikunnya nggak berhenti? Dea kebingungan, "wah, parah!” Kedua bola matanya membelalak ke arah kursi sopir bikun yang terus menginjak pedal gasnya. Akhirnya, mereka turun di Halte Vokasi UI dengan muka masam. Tidak seperti biasanya, tak ada hasrat dalam diri mereka mengucapkan terima kasih kepada sang supir ketika melangkah turun dari bikun.

“Lumayan jauh nih, dari Vokasi ke PNJ,” keluh Mei sambil menunduk memperhatikan jalan yang minim sekali pencahayaan.

“Iya, ini kan udah malam juga. Takut gelap,” timpal Widy.

“Gimana sih sopirnya, mentang-mentang sopir bikun, masa nggak mau berhenti di Halte PNJ!” Dea geram.

“Hati-hati jalannya, minggir semua, ya,” ujar Widy yang mulai menenangkan.

“Pegang juga tas kalian masing-masing yang erat ya, waspada!” perintah Dea.

Beberapa waktu setelah malam itu, kejadian hampir serupa terjadi. Namun, yang membedakan ialah  posisi Dea berada di halte PNJ menunggu bikun untuk  membawanya ke Halte Pondok Cina (Pocin). Setelah menunggu beberapa lama, bikun akhirnya tiba, tetapi tampaknya sopir bikun tidak menginjak pedal rem bus, bikun terus berjalan dan berlalu. Dea dan teman-temannya, serta mahasiswa PNJ yang lain seketika dibuat kecewa.
 
Beredar kabar, para sopir bikun ngambek dengan para sopir bus politeknik atau bipol yang jarang beroperasi dalam satu hari. Namun, tidak dapat dipastikan apakah informasi demikian benar adanya atau tidak. Hingga saat ini, belum ada konfirmasi baik dari pihak bikun maupun bipol terkait hal itu. 

Namun demikian, Dea punya caranya sendiri untuk bisa tetap terkesan pada kampusnya itu, misalnya, ia selalu bersyukur atas apa yang telah digariskan Tuhan untuk dirinya, tidak peduli hal baik ataupun buruk. Ia yakin selalu ada hikmah tersembunyi di balik setiap ujian yang ia lalui. Ketika harus meminjam buku di perpustakaan UI, ia artikan itu sebagai jalan Tuhan membawanya kepada ilmu yang jauh lebih baik dan mumpuni. 

Kemudian, pembagian kelas yang tidak merata, menggiringnya menjadi mahasiswa yang lebih menghargai setiap jam mata kuliah yang ia dan teman-temannya perjuangkan. Namun, perkara proyektor, menurutnya, hingga saat ini pihak kampus masih belum serius menanggapi. Dea berharap, secepatnya ia bisa mendengar kabar menggembirakan dari adik-adik juniornya terkait penyediaan proyektor di tiap-tiap kelas, sebab itu merupakan salah satu hak seluruh mahasiswa yang harus terpenuhi.

Tidak lupa Dea menambahkan, ada satu hal yang selalu membuatnya bangga menjadi mahasiswa PNJ, yakni mendapat kesempatan sebagai anak didik dari para pengajar yang berkompeten di bidangnya. Ia tidak menutup kemungkinan, keberhasilan yang bisa ia raih sampai hari ini, tak lepas dari dukungan dan motivasi para pengajarnya di kampus.

Hiperbola pada Jurnalistik Online Sebaiknya Dihindari

Ada berita apa hari ini? Jika dihadapkan dengan pertanyaan diemikian, apa yang akan segera kamu lakukan? Apakah itu membeli harian atau koran, memantau berita di televisi, mendengarkan frekuensi berita di radio, atau justru mengakses ponsel pintar untuk terhubung dengan koneksi atau jaringan internet dan menggali informasi di dalamnya?

Bisa saya pastikan, pilihan kamu akan jatuh pada opsi terakhir, yaitu memanfaatkan smart phone-mu yang serba bisa. Apalagi jika kamu merupakan generasi nineties atau milenium. Wajar memang, cara ini menang sah dan terbilang sangat sederhana bagi sang pemburu informasi berupa berita. Sederhana karena dalam sekali berselancar di internet, kamu bisa mengantongi banyak informasi dari media online.

Informasi yang kamu miliki juga tidak akan terpaku pada berita yang sedang viral, namun kamu juga bisa mengakses kembali berita yang tidak lagi aktual. Lebih luas lagi, berita pada media online juga akan memanjakanmu dengan ragam sudut pandang atau angle berita. Mulai dari kelas biasa saja, hingga yang sangat unik. Perlu dipertegas, semua kemudahan ini bisa kamu raih di mana dan kapan saja, selama kamu tersambung dengan koneksi internet.

Kendatipun demikian, pernahkah kamu berada pada rasa tidak terpuaskan atas sajian berita yang di-upload beberapa media online? Misalnya, kamu menemui kerancuan atau bahkan ksalahan atas content berita online. Jika kerancuan atau batas kesalahan masih pada batas wajar, seperti kesalahan pada tanda baca, ada kemungkinan poin yang cukup tak kasat mata ini bisa lolos keberadaannya oleh pantauan pembaca.

Selanjutnya ada karakteristik media online yang mungkin jarang sekali disadari para pembacanya. Selain yang sudah kita bahas, yaitu kecepatan waktu, ciri lainnya ialah hiperbola atau berlebihan. Sebenarnya, ciri ini sangat mudah dideteksi. Judul-judul pada berita media online inilah yang menjadi alat tempur untuk membidik sasaran, dalam hal ini pembaca atau netizen.

Meski banyak yang mengaku tertarik membaca berita di media online, tidak sedikit pula yang merasa apes dan dirugikan sebab telah membuang waktu percuma. Fenomena ini mencuat lantaran bunyi judul yang demikian menarik dan mencolok tidak diikuti dengan body berita yang mampu menunjang peran judul. Alhasil, ekspektasi pembaca yang tinggi seketika akan berubah, hancur berantakan.

Sebagai contoh, sebuah media online asal Makassar menciptakan judul berita yang memojokkan Kaesanh Pangarep, putra Presiden RI JokonWidodo. Pada judul, Kaesang dilabeli penulis sebagai anak yang durhaka kepada ayah kandungnya sendiri. Namun, yang terjadi sebenarnya pada body berita, tidak ditemukan sama sekali bukti yang menguatkan bahwa Kaesang merupakan seorang anak durhaka, apalagi kepada orang nomor satu di Indonesia itu.

Yang terjadi sebemarnya iyalah, tanggapan Kaesang berupa guyonan kepada Jokowi di media sosial Instagram. Kaesang bahkan meminta izin terlebih dahulu ke Jokowi dengan kata-kata sopan sebelum melontarkan guyonan yang menyenutkan kata "kecebong" di dalamnya. Memang tidak ada tanggapan terkait berita yang "tidak berisi" itu, karena media terkait tidak memfasilitasi pembaca, baik dengan kolom kritik ataupun saran.

Jika ditinjau dari pengertian kata berita, teknik penulisan berita dengan mengedepankan sensasi seperti demikian, merupakan suatu perbuatan penyelewengan terhadap suatu pekerjaan, yaitu Jurnalis. Dalam praktiknya, menjadi seorang wartawan online memang susah-susah gampang. Seorang wartawan online harus bekerja keras dengan waktu yang tidak boleh terhenti walau hanya sedetik. Inilah kemudian yang menjadi tantangan terbesar seorang wartawan online.

Dalam waktu yang sesingkat-singkatnya ia harus berperang dengan waktu dan kata demi kata untuk menghasilkan karya Jurnalistik yang mampu memikat perhatian penbaca. Untuk itu, seharusnya, apabila ingin tetap mengedepankan teknik penulisan berita yang mengandung sensasi, terutama pada judul, ada baiknya jika diikuti dengan isi berita yang menunjang.

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates