Tiga
tahun sudah waktu bergulir. Namun, kenangannya akan kampus tercinta yang telah memberi banyak pelajaran itu
masih sangat jelas diingatannya. Dari mulai hangatnya persahabatan, hingga suasana
seperti keluarga di rumah saat bersama para pengajar di kampus yang penuh kasih
dan sayang.
Bagi Dea Karina Tirtajaya, mendapat kesempatan menuntut ilmu
di Politeknik Negeri Jakarta Jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan, Program
Studi Penerbitan, merupakan berkat tak ternilai dari Yang Mahapengasih. Untuk
itu, ia pun mewujudkan rasa syukurnya dengan lulus tepat waktu tahun ini. Bahkan,
kini, wanita 21 tahun itu telah menjadi karyawan tetap di perusahaan media
Femina Group, tepat setelah masa Praktik Industrinya berakhir.
Dea, begitu panggilan akrabnya,
memang telah berhasil dan sukses menjalani masa-masa sulitnya sebagai mahasiswa
teladan. Namun, itu semua bukan tanpa perjuangan dan kesabaran yang lahir dari
setiap doa dalam dadanya yang tulus. Bersama teman-teman seperjuangannya,
wanita berkerudung itu tak hanya harus tahan banting menghadapi ujian-ujian besar,
seperti sulitnya mendapatkan perusahaan untuk PI, menuruti setiap kemauan dosen pembimbing,
hingga mendapat revisi berulang kali pada setiap bimbingan, baik laporan PI
maupun Tugas Akhir (TA).
“Hal-hal kecil” yang Dea lalui bersama sahabat-sahabatnya tak
lantas menumbangkan semangat juangnya sebagai mahasiswa tingkat akhir,
sebaliknya, ia justru merasa terkesan. Pernah suatu ketika, Dea yang sedang
menyusun TA berjudul “Penerapan Syarat dan Unsur Penulisan Naskah Untuk Produk
Digital pada Website
www.sahabatmarina.com”, kesulitan mencari buku rujukan atau referensi di
kampusnya sendiri. Akhirnya, ia memutuskan untuk meminjam buku di perpustakaan
kampus tetangga (Universitas Indonesia). Ya, letak PNJ memeng berada di
tengah-tengan kampus UI, Depok.
Dea mengklaim, baik perpustakaan kampus maupun jurusan,
tidak banyak menyediakan buku yang mampu menunjang mata kuliahnya di kampus.
Bukan hanya tidak banyak, namun juga sangat sulit ditemukan. Kendatipun ditemukan,
boleh jadi konten atau tahun terbit buku tersebut tidak lagi relevan.
Jauh sebelum itu, gadis pemilik mata besar, hidung mancung,
dan bibir merah itu sudah sering menelan bulat-bulat kekecewaan atas fasilitas yang
disediakan kampus, khususnya di jurusan. Pada pertengahan semester 2, Dea dan
teman-temannya sering telantar alias tak mendapat jatah ruang kelas akibat
jadwal mata kuliah yang tak terkoordinasi dengan tepat.
Kondisi itu diperparah dengan minimnya penyediaan proyektor.
Pasalnya, kehadiran proyektor dinilai sangat membantu proses belajar mengajar
di kampus. Utuk itu, keterbatasan jumlah proyektor berpotensi mengurangi
keefektifitasan kegiatan perkuliahan.
“Ketua kelas tolong ambilkan proyrektor, ya,” kata seorang Bapak dosen saat mata kuliah ke dua yang
dimulai pukul 11.00 itu. Ketua kelas pun bergegas menuju ruang sekret, tempat
penyediaan proyektor di lantai dua. Beberapa
menit kemudiam ketua kelas kembali ke kelas.
“Maaf, Pak, proyektornya sudah habis dipinjam kelas lain.” Kalimat itu tiba-tiba saja membungkam suasana kelas yang
tadinya cukup riuh oleh perbincangan antarmahasiswa.
“Wah, gimana nih? Coba kamu cari ke kelas lain, mungkin ada
yang sudah selesai menggunakannya,” saran Bapak dosen yang mulai gelisah. Ketua kelas yang belum
bisa mengatur napasnya itu keluar lagi dari kelas, mencari proyektor ke
kelas-kelas lain. Namun sudah diusahakan, proyektor tak juga didapatkan.
“Kalau kayak gini, gimana saya bisa nyampein materi?” keluh Bapak dosen sambil terkekeh, entah apa maksudnya.
Dengan berat hati, materi pun disampaikan Bapak dosen dengan menuliskannya
ulang di papan tulis menggunakan spidol
hitam. Beruntung, ketidaknyamanan itu tak berlangsung lama. Dea kemudian diberikan jadwal yang terkoordinasi dengan baik sehingga ia dan
teman-teman sekelasnya tak perlu kesusahan mencari kelas kosong. Proyektor pun
kini sudah disediakan di tiap-tiap kelas, meski tidak dimungkiri banyak yang
tak bisa digunakan bahkan dicabut dari beberapa kelas dan disimpan oleh pihak
kampus.
Setelah perpustakaan, ruang kelas,
dan proyektor, selajutnya ada “kasus” bus kuning UI. Kasus yang juga kini
tengah ramai diperbincangkan, baik oleh kalangan mahasiswa UI mapun PNJ ini,
ternyata telah terlebih dahulu dialami Dea ketika ia baru menginjak semester tiga. Malam itu, sekitar pukul 19.00, Dea bersama Kiki, Widy, Mei, dan Tami baru
pulang mencetak tugas kuliah di daerah Margonda.
Sehubungan dengan kamar indekos mereka yang terletak di belakang PNJ, mereka pun memutuskan untuk
menumpangi bus kuning milik UI atau yang sering disebut dengan bikun. Tak seperti biasanya, malam itu mereka berlima dibuat
tercengang oleh ulah sang oupir bikun.
“Yuk, siap-siap turun!” seru Tami. Kelimanya pun berdiri, bersiap-siap turun dari bikun di Halte PNJ.
“Loh loh loh, ini kok bikunnya nggak berhenti? Dea kebingungan, "wah, parah!” Kedua bola matanya membelalak ke arah kursi
sopir bikun yang terus menginjak pedal gasnya. Akhirnya, mereka turun di Halte
Vokasi UI dengan muka masam. Tidak seperti biasanya, tak ada hasrat dalam diri
mereka mengucapkan terima kasih kepada sang supir ketika melangkah turun dari
bikun.
“Lumayan jauh nih, dari Vokasi ke PNJ,” keluh Mei sambil menunduk memperhatikan jalan yang minim
sekali pencahayaan.
“Iya, ini kan udah malam juga. Takut gelap,” timpal Widy.
“Gimana sih sopirnya, mentang-mentang sopir bikun, masa
nggak mau berhenti di Halte PNJ!” Dea
geram.
“Hati-hati jalannya, minggir semua, ya,” ujar Widy yang mulai menenangkan.
“Pegang juga tas kalian masing-masing yang erat ya,
waspada!” perintah Dea.
Beberapa waktu setelah malam itu, kejadian hampir serupa terjadi. Namun, yang membedakan ialah posisi Dea berada di halte PNJ menunggu
bikun untuk membawanya ke Halte Pondok Cina (Pocin). Setelah
menunggu beberapa lama, bikun akhirnya tiba, tetapi tampaknya sopir bikun tidak menginjak
pedal rem bus, bikun terus berjalan dan berlalu. Dea dan
teman-temannya, serta mahasiswa PNJ yang lain seketika dibuat kecewa.
Beredar kabar, para sopir bikun
ngambek dengan para sopir bus politeknik atau bipol yang jarang beroperasi dalam satu hari. Namun, tidak dapat dipastikan apakah informasi
demikian benar adanya atau tidak. Hingga saat ini, belum ada konfirmasi baik
dari pihak bikun maupun bipol terkait hal itu.
Namun demikian, Dea punya caranya sendiri untuk bisa tetap terkesan pada kampusnya itu, misalnya, ia selalu bersyukur atas apa yang telah digariskan Tuhan untuk
dirinya, tidak peduli hal baik ataupun buruk. Ia yakin selalu ada hikmah
tersembunyi di balik setiap ujian yang ia lalui. Ketika
harus meminjam buku di perpustakaan UI, ia artikan itu sebagai jalan Tuhan
membawanya kepada ilmu yang jauh lebih baik dan mumpuni.
Kemudian, pembagian
kelas yang tidak merata, menggiringnya menjadi mahasiswa yang lebih menghargai
setiap jam mata kuliah yang ia dan teman-temannya perjuangkan. Namun, perkara proyektor, menurutnya, hingga saat ini pihak
kampus masih belum serius menanggapi. Dea berharap, secepatnya ia
bisa mendengar kabar menggembirakan dari adik-adik juniornya terkait penyediaan
proyektor di tiap-tiap kelas, sebab itu merupakan salah satu hak seluruh mahasiswa yang harus terpenuhi.
Tidak lupa Dea menambahkan, ada satu hal yang selalu membuatnya
bangga menjadi mahasiswa PNJ, yakni mendapat kesempatan sebagai anak didik dari
para pengajar yang berkompeten di bidangnya. Ia tidak menutup kemungkinan,
keberhasilan yang bisa ia raih sampai hari ini, tak lepas dari dukungan dan
motivasi para pengajarnya di kampus.